Dasar - Dasar Berbicara

Hakikat Berbicara


Memiliki kemampuan berbicara tidaklah semudah yang dibayangkan orang. Banyak orang yang mampu dan terampil menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan, namun sering mereka kurang mampu dan terampil menyajikannya secara lisan (langsung) di hadapan massa. Kadang-kadang pokok pembicaraan cukup menarik, tetapi karena penyajiannya kurang menarik, hasilnya pun kurang memuaskan. Sebaliknya, walaupun topik kurang menarik, tetapi karena disajikan sedemikian rupa, akhirnya topik tadi dapat menarik pendengarnya.
Setiap orang mungkin pernah mengalami/ mendengar sebuah pembicaraan tanpa memahami dengan jelas apa yang dimaksud oleh sipembicara.  Atau si pendengar mempunyai penafsiran yang berbeda dengan maksud  pembicara. Tidak terjalinnya komunikasi antara pembicara dengan pendengar ini kemungkinan besar kesalahannya terletak pada si pembicara. Kesalahan dalam komunikasi tersebut dapat terjadi disebabkan oleh banyak hal, antara lain ide yang disampaikan, bahasa yang digunakan, dan cara penyampaiannya yang kurang efektif.  
Sebagai anggota masyarakat, secara alamiah seseorang mampu berbicara. Namun, dalam situasi formal sering timbul rasa gugup, sehingga gagasan yang dikemukakan menjadi tidak teratur dan akhirnya bahasanya pun menjadi tidak teratur. Bahkan ada yang tidak berani berbicara.
Kemampuan berbicara merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang perlu dimiliki oleh seseorang, terutama mahasiswa sebagai calon ilmuan. Kemampuan ini bukanlah kemampuan yang diwariskan secara turun temurun, walaupun pada dasarnya secara alamiah manusia dapat berbicara. Karena kemampuan berbicara secara formal memerlukan latihan dan pengarahan atau bimbingan yang intensif. Ada anggapan bahwa setiap orang dengan sendirinya dapat berbicara. Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab pembinaan kemampuan berbicara sering diabaikan.
Berbicara dalam situasi yang formal dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar memerlukan latihan dan bimbingan yang intensif. Demikian juga halnya bagi mahasiswa sebagai calon ilmuan yang sering terlibat dalam kegiatan berbicara formal, misalnya bertanya dalam kelas, berdiskusi, berseminar, berceramah, berpidato, dan sebagainya.
) atau berunding”. Selain batasan di atas, Tarigan (1983: 15) dengan titik berat kemampuan pembicara memberikan batasan bahwa “ berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi Berbicara pada hakikatnya adalah “berkata; bercakap; berbahasa atau melahirkan pendapat (dengan perkataan; tulisan dan sebagainya atas kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan”. Sedangkan sebagai bentuk atau wujudnya berbicara sebagai suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak.
Menurut kamus, berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa atau kata-kata untuk mengekspresikan pikiran. Keterangan lebih lanjut dari batasan ini adalah, berbicara merupakan sistem tanda yang dapat didengar dan dilihat yang memanfaatkan otot-otot dan jaringan otot manusia untuk mengkomunikasikan ide-ide. Selanjutnya, berbicara merupakan bentuk prilaku manusia yang memanfaatkan faktor fisik, psikis, neorologis, semantik, dan linguistik secara ekstensif sehingga dapat dianggap sebagai alat yang sangat penting untuk melakukan kontrol sosial.
Jadi, berbicara pada hakikatnya merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Dengan demikian kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan persendian. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, berbicara ini dapat dibantu dengan mimik dan pantomimik pembicara.
Seseorang yang mengucapkan bunyi-bunyi bahasa (berbicara) cenderung membutuhkan pendengar sehingga dapat terjadi komunikasi (dengan syarat: bunyi-bunyi bahasa yang teratur itu dapat dipahami oleh pembicara/komunikator dan pendengar/komunikan. Kemampuan berbicara ini merupakan tuntutan utama yang harus dikuasai dalam berinteraksi dengan masyarakat.
Memperhatikan pentingnya kemampuan berbicara  dalam interaksi sosial di masyarakat, maka seyogianya kemampuan berbicara ini merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh kalangan mahasiswa. Seperti diketahui bahwa setiap perguruan tinggi berkewajiban melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang terdiri atas dharma pendidikan, dharma penelitian, dan dharma pengabdian pada masyarakat. Pelaksanaan ketiga dharma sangat menuntut keterampilan mahasiswa  untuk ber-komunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis.
Dalam proses belajar mengajar, mahasiswa pun dituntut kemampuannya untuk mengemukakan pendapatnya secara lisan. Misalnya bertanya dalam kelas, berdiskusi memecahkan masalah yang berhubungan dengan disiplin ilmu yang sedang dipelajarinya. Dalam pengembangan ilmu yang diperolehnya supaya mendapat tanggapan dari pihak lain, sering pula diadakan kegiatan seminar akademik, yang melibatkan tidak hanya mahasiswa yang bersangkutan, tetapi juga pihak lain yang ada kaitannya dengan disiplin ilmu tersebut. Begitu juga  dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang sedang didalami atau untuk lebih memahami disiplin ilmu tersebut, sering mahasiswa dituntut untuk memecahkannya secara berkelompok. Dalam hal ini peranan diskusi sangat dominan. Baik dalam seminar akademik  atau diskusi ilmiah , keterampilan mahasiswa mengemukakan pendapat secara lisan yang didukung oleh argumentasi yang kuat harus pula ditunjang oleh pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Cara berbicara pun harus jelas dan sistematis, supaya informasi yang disampaikan efektif.
Demikian pula halnya dengan dharma penelitian  yang berusaha membantu mahasiswa mengembangkan daya pikir dan daya ciptanya serta memberikan kemungkinan penerawangan akal mahasiswa ke cakrawala yang lebih luas.  Kegiatan ini juga sering disertai seminar akademik, diskusi ilmiah, atau ceramah ilmiah. Demikian juga dalam mengkomunikasikan hasil penemuannya, selain mahasiswa dituntut membuat laporan secara ilmiah dalam bentuk tertulis, mahasiswa juga harus mengkomunikasikan hasil penemuannya secara lisan dalam bentuk seminar untuk memperoleh masukan dari pihak lain.
Dalam dharma pengabdian pada masyarakat yang berusaha meningkatkan kesadaran dan kepekaan sosial di kalangan sivitas akademika, mahasiswa juga dituntut untuk langsung berkomunikasi dengan masyarakat, misalnya dalam bentuk pidato, ceramah, penyuluhan, dan penataran. Selain dari  harus menguasai masalahnya, mahasiswa harus pula terampil menyampaikan dan menyesuaikan bahasanya dengan masyarakat pendengarnya. Hendaknya bahasa yang digunakan bersifat informatif dan komunikatif. Informatif ditinjau dari aspek pembicara atau sipemakai bahasa, artinya dapat melahirkan gagasan atau idenya dengan baik. Sedangkan komunikatif ditinjau dari pendengar atau penerima informasi yang juga dapat menerima informasi  sesuai dengan apa yang dimaksud oleh sipembicara. Tentu saja bahasa yang digunakan adalah bahasa yang benar, yang  sesuai dengan kaidah yang berlaku.
Di samping berperan dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, kemampuan berbicara sangat perlu dimiliki oleh mahasiswa terutama dari kependidikan untuk pelaksanaan tugasnya di lapangan nanti. Tidak dapat disangkal, bahwa sebagian besar proses belajar mengajar dilak-sanakan melalui  komunikasi lisan baik dalam bentuk ceramah , diskusi, tanya jawab,  pemberian tugas, dan lain-lain. Dalam hal ini kemampuan dan keterampilan yang sangat dituntut  bagi seorang guru adalah berbicara. Bagaimana pun materi itu dikuasai, namun kalau tidak dapat disampaikan  dengan jelas dan tepat, hasilnya tentu saja tidak akan efektif. Lebih-lebih lagi mengingat sistem pengajaran  kita yang masih bersifat klasikal, kemampuan berbicara seorang guru sangat menentukan keberhasilan proses belajar mengajar.
Uraian di atas menunjukkan bahwa tujuan seseorang berkomunikasi antara lain adalah pencapaian saling paham antara pembicara dan pendengar atau antara penulis dan pembaca. Untuk mencapai tujuan tersebut orang perlu memahami teknik dan tata cara  berbahasa karena komunikasi lewat bahasa yang efektif tergantung  dan terikat pada beberapa faktor. Faktor-faktor penentu dalam komunikasi berbahasa yang efektif ialah (1) kekhasan ciri hubungan antara para pemakai bahasa atau antara para penutur, (2) waktu dan tempat pelangsungan komunikasi berbahasa, (3) sarana yang dipakai untuk berkomunikasi berbahasa, (4) tujuan komunikasi bahasa, (5) Ciri amanat yang berlangsung, dan (6) lingkungan pemakaian (Parera, 1991:3).

Komponen-Komponen Berbicara

   Komponen-komponen yang selalu terlibat dan mempengaruhi pembicaraan adalah:
 a. Pembicara
 b. Pembicaraan/pesan
 c. Penyimak
 d. Media
 e. Sarana penunjang
 f. Interaksi
        Harold D. Lasswell menawarkan sebuah model proses komunikasi yang kemudian dikenal sebagai Model Lasswell. Menurutnya, komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator (communicator, source, sender) kepada komunikan (communicant, receiver, recipient) melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Jadi, disini ada lima komponen komunikasi. Berikut ini adalah penjelasan mengenai kelima komponen komunikasi itu.
a. Komunikator atau pembicara
Komunikator ialah orang atau sekelompok orang yang menyampaikan pikiran, perasaan atau kehendak kepada orang lain. Dalam lingkup berbicara, peran komunikator ini kita kenal juga sebagai pembicara.
Komunikator dapat bertindak secara individual atau secara kolektif yang melembaga. Hal-hal yang mempengaruhi komunikasi dalam berbicara dilihat dari komunikator sebagai berikut ini.
1.  Kecakapan komunikator (pengirim berita)
    Harus menguasai teknik-teknik berbicara:
   a.Cakap memilih lambang yang tepat untuk mengungkapkan buah pikirannya.
      Keterangan-keterangan sistematis dan jelas (ilustrasi dan contoh-contoh)
b. Cakap membangkitkan minat perhatian
 2.  Sikap komunikator
·         Sombong, angkuh
·         Ragu-ragu menyebabkan pendengar kurang percaya
·         Muka manis, simpatik, cukup tegas
  3.  Pengetahuan, menguasai mendalam uraian
  4. Sistem sosial, yang bersifat formal (organisasi), pembicara dipengaruhi oleh kedudukannya dalam organisasi informal (masyarakat biasa), bila tak menyesuaikan komunikasi tidak lancar.
5. Saluran (alat tubuh dari komunikator) suara yang mantap, ucapan yang jelas
b. Pesan atau topik pembicaraan
Pesan adalah lambang bermakna (meaning symbols), yakni lambang yang membawakan pikiran atau perasaan komunikator. Pesan yang disampaikan dengan bahasa atau lambang lain tersebut dalam lingkup berbicara berwujud isi pembicaraan atau topik pembicaraan.
c. Komunikan atau pendengar
Komunikan adalah seseorang atau sejumlah orang yang menjadi sasaran komunikator ketika ia menyampaikan pesannya. Dalam lingkup berbicara, komunikan adalah pendengar. Komunikan dapat merupakan kelompok kecil atau besar. Perbedaan dalam besar kecilnya kelompok beserta sifatnya menghendaki seorang komunikator melakukan ko-munikasi dengan gaya dan teknik yang berbeda, apalagi kalau ko-munikannya itu hanya satu orang. 
                Hal-hal yang mempengaruhi komunikasi dalam berbicara dilihat dari                         komunikan/pendengar adalah sebagai berikut ini.
1. Kecakapan, kecakapan mendengar, harus tahu teknik mendengar
    - cakap memusatkan perhatian
    - cakap mengambil intisari
    - cakap membedakan pokok masalah dan penjelasannya
  2. Sikap, (curiga, apriori)
  3. Pengetahuan, harus menyesuaikan
     4. Kurang memahami sistem sosial, mempelajari tradisi dan kebiasaan masyarakat setempat
d. Media
Media adalah sarana untuk menyalurkan pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Secara umum media yang digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa. Perlu diperhatikan bahwa persamaan kode bahasa antara pembicara dan penyimak mutlak diperlukan dalam suatu pembicaraan. Selanjutnya, media dalam wujud peralatan digunakan dalam komunikasi apabila komunikan berada di tempat yang jauh dari komunikator dan/atau jumlahnya banyak. Apabila komunikannya hanya seorang, digunakanlah media seperti telepon. Jika komunikannya banyak, dipakailah pengerah suara. Kalau komunikannya jauh dan banyak, digunakanlah radio, televisi, dan lain sebagainya.
Jelaslah bahwa digunakan tidaknya media, dan jika akan digunakan, yang mana yang akan diambil, bergantung pada banyak tidaknya dan jauh tidaknya komunikan.
e. Efek
Efek adalah tanggapan, respons atau reaksi dari komunikan ketika ia tahu mereka menerima pesan dari komunikator. Jadi, efek adalah akibat dari proses komunikasi. Dengan efek inilah timbul interaksi antara komunikator dan komunikannya.
Selain itu, Poedjosoedarmo (1979: 2-17) berpendapat bahwa komponen tutur (komponen berbicara) sebagai butir-butir penentu bentukan linguistik yang menjadi variabel penentu ujaran yang akan keluar dari mulut seseorang pembicara itu meliputi :
  1. Pribadi si pembicara atau O1
  2. Warna emosi O1
  3. Maksud O1
  4. Anggapan O1 terhadap kedudukan sosial dan relasinya dengan O2
  5. Kehadiran O3
  6. Nada suasana bicara
  7. Adegan bicara
  8. Pokok pembicaraan
  9. Lingkungan pembicaraan (Depdiknas, 2005:23-24)
Berikut ini adalah butir-butir komponen tutur secara garis besar dan keterangan penyertanya.
1. Pribadi O1
Pribadi O1 atau komunikator sedikit banyak akan menentukan ujaran yang keluar. Untuk mengetahui siapakah O1, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
a.  Keadaan Fisik O1
Seseorang pembicara yang tidak bergigi akan lain bentuk bunyi bahasanya bila dibandingkan dengan pembicara yang bergigi lengkap. Demikian pula pembicara yang berbibir tebal akan mengahsilkan bunyi bahasa yang lain dengan pembicara yang berbibir tipis, dll.
b.  Keadaan Mental O1
                        Seorang pembicara yang pemalu, mudah gemetar, dan sering dihinggapi rasa takut akan memiliki kebiasaan kebahasaan yang lain dengan seorang pembicara yang pemberani atau periang.
           c.          Kemahiran Berbahasa O1
                        Pembicara yang fasih dan menguasai bahasa yang dipakainya akan mengujarkan bentuk-bemntuk bahasa yang berbeda dengan pembicara yang mempunyai kemampuan berbahasa rendah. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa setiap pribadi O1 memiliki organ bicara, temperamen, sikap bicara, dan kemampuan bicara sendiri yang khusus dan khas. 
                                Selain idiolek yang merupakan varian bahasa yang ditentukan oleh pribadi O1, ada juga dialek yang merupakan varian bahasa yang ditentukan oleh latar belakang asal-usul O1. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan latar belakang adalah:
                (1)  Jenis kelamin
            Kaum wanita biasanya berbicara seperti umumnya wanita (suara kecil, nyaring, dan seterusnya) dan kaum laki-laki berbicara seperti umumnya laki-laki (suara besar, berat, dan seterusnya). Oleh sebab itu, jika ada laki-laki yang berbicara dengan menggunakan unsur-unsur bahasa yang biasa dipakai kaum wanita, laki-laki itu disebut sebagai laki-laki kewanita-wanitaan. Sebaliknya kaum wanita yang saat berbicara selalu menggunakan unsur-unsur bahasa seperti yang biasa dipakai kaum laki-laki, wanita itu disebut sebagai, wanita yang kelaki-lakian.
          (2)  Asal daerah
Faktor asal daerah merupakan faktor geografis. Dialek yang faktor penentunya adalah temapt asal O1 disebut dengan dialek geografi, misalnya : dalam bahasa Jawa ada dialek Osing, Solo-Yogya, Banyumas, dan lain-lain.
     (3)   Asal golongan masyarakat (tingkat sosial)
Faktor penentu dialek social adalah latar belakang dari mana asal O1. Pada umunya akan dijumpai dialek sosial tinggi, menengah, atau rendah. Tingkat sosial ini juga terkait dengan masalah umur, jenis profesi, kelompok etnik, dan agama atau aliran kepercayaan yang dianut.
2. Warna Emosi O1
Warna emosi O1 akan mempengaruhi bentuk pembicaraannya. O1 yang marah akan sulit mengutarakan maksud dengan sopan. Dalam bahasa Jawa, marah biasanya ditandai dengan lontaran tingkat bicara ngoko atau dicampuri dengan leksikon kasar dan tabu. Hentakan emosi yang kuat dan tidak terkontrol biasanya akan mengakibatkan keluarnya ujaran yang tidak terkontrol pula.
3. Maksud O1
                        Perubahan maksud O1 dapat mempengaruhi bentuk ujarannya atau dengan kata lain, maksud dan kehendak O1 akan sangat mempengaruhi bentuk-bentuk pembicaraannya. Maksud-maksud seperti: menyombong, menghina, menyindir, mencela, menyalahkan, mendakwam, menuntut, mengancam, nyukurke, melehke(Jawa), memarahi, mengumpat, membikin malu, memuji, menyanjung, dll akan mempengaruhi bentuk-bentuk pembicaraan yang terlontarkan.
4. Anggapan O1 terhadap kedudukan sosial dan relasinya dengan O2
Lawan bicara atau komunikan (O2) juga dapat menentukan kode bicara seseorang atau varian bahasanya. Varian bahasa yang disebabkan oleh faktor O2 ini disebut tingkat tutur. Apabila O2 merupakan orang yang perlu dihormati, tingkat tutur yang dipakai hendaknya yang membawakan makna hormat.
Sebaliknya apabilal O2 adalah seorang yang tidak perlu dihormati, tingkat tutur yang dipergunakan dapat diganti dengan tingkat tutur yang tidak membawakan makna hormat. Dalam masalah ini yang menentukan tingkat tutur yang dipilih O1 adalah tingkat sosial lawan bicara. Jadi, yang perlu diperhatikan adalah tanggapan O1 tentang tinggi rendahnya tingkat sosial O2 serta keakraban hubungan O1 dengan O2. Tetapi, apabila sesorang ingin mendatangkan dan menciptakan rasa akrab, yang penting bukanlah keadaan objektif hubungan pribadinya, melainkan anggapan yang ada pada O1 terhadap O2. Misalnya; dalam bahasa Jawa, tingkat tutur ngoko dianggap lebih akrab daripada madya atau krama.
Ada juga beberapa peristiwa tutur tertentu yang tidak terdapat adanya O2 karena O2 tidak diperlukan atau dalam anggapan O1 (ia) juga berhubungan dengan O2, misalnya; jerit rasa sakit, seru rasa nikmat, atau ekspresi spontan lain yang biasanya berbentuk ujaran seperti umpatan yang sudah mendarah daging, dan lain-lain.
5. Kehadiran O3
    Pembicaraan seseorang dapat berganti karena kehadiran O3. Suatu pembicaraan dalam bahasa Jawa yang O1 dan O2-nya suku Jawa cenderung akan mengubah bahasanya karena ada teman lain dari suku Batak yang hadir dan ikut serta dalam pembicaraan itu, misalnya dari bahasa Jawa berubah ke bahasa Indonesia.
    Perubahan kode karena hadirnya O3 ini dapat terjadi karena bermacam-macam alas an, antara lain : ingin mengikutsertakan O3 dalam percakapan; ingin mera-hasiakan sesuatu, supaya tidak mengganggu O3, ingin memberi kesan kepada O3 bahwa O2 orang terhormat atau sebaliknya, dll.

6. Nada Suasana Bicara
Nada suasana bicara secara keseluruhan dapat mempengaruhi perasaan O1. Kemudian dapat juga berpengaruh pada macam dan bentuk pembicaraan yang akan dilontarkan O1. Jadi, pada garis besarnya citarasa bicara akan mempengaruhi bentuk ragam bicara yang akan dilontarkan O1. Ragam bicara atau yang secara umum disebut ragam bahasa ini meliputi: ragam bahasa santai, formal dan indah. Di sisi lain, masih dapat juga dibedakan adanya suasana tergesa-gesa, suasana yang memerlukan kejelasan dan ketelitian, suasana yang menghendaki adanya penggunaan bahasa yang berlebihan, suasana yang diliputi rasa akrab, dll.
7. Latar Bicara
Latar bicara juga akan berpengaruh terhadap bentuk pembicaraan. Adegan bicara ini meliputi faktor. Tempat, waktu, dan peristiwa (peristiwa pesta, kematian).
8. Pokok Pembicaraan
Pokok pembicaraan juga akan berpengaruh terhadap bentuk pembicaraan. Bahkan pokok pembicaraan dapat mengubah O1,O2, atau suasana bicara. Misalnya: sebelum rapat, peserta masih dapat bersenda gurau dan bercanda, kemudian saat rapat dimulai dengan pokok pembicaraan tertentu (yang berbeda dengan pokok pembicaraan dalam senda gurau), suasana bicara akan berubah menjadi hening dan serius.
9. Lingkungan Pembicaraan
Bentuk pembicaraan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan pembicaraan atau faktor nonlinguistik seperti adanya sarana pembicaraan atau barang-barang atau alat-alat yang ada disekitar pembicaraan.
Secara lebih ringkas, Finn (1993) menyatakan bahwa komponen berbicara terdiri atas: pembicara (speaker), pendengar (listener), topik, dan konteks (latar pembicaraan). Perubahan pada salah satu komponen akan berpengaruh terhadap jalannya komunikasi. Tampaknyaa, apa yang dikemukakan ini merupakan bentuk paling ringkas dari berbagai komponen berbicara di atas.

 Tujuan Berbicara
                Manusia sebagai makhluk individu, juga berperan sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu, manusia mau tak mau harus bergaul dan berhubungan dengan dengan manusia lain. Sebagai makhluk sosial manusia seringkali memerlukan orang lain memahami apa yang sedang ia pikirkan, apa yang ia inginkan, dan apa yang ia rasakan. Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan kehendak sesungguhnya memang merupakan kebutuhan manusia. Artinya bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi ia akan mengalami ketidakseimbangan jiwa.
                Kegiatan mengungkapkan isi hati kepada orang lain kita kenal dengan sebutan komunikasi. Komunikasi ilmiah bertujuan menyampaikan informasi tentang sesuatu. Penyampaian  informasi ini harus ditunjang oleh pemakaian bahasa yang bebas nilai, bebas dari unsur emotif dan afektif. Pilihan kata harus tepat dan tidak menimbulkan pengertian ganda, artinya penggunaan kata harus sesuai dengan pesan yang diinginkan. Untuk menghindari salah tafsir, sebaiknya seorang pembicara menjelaskan  pengertian yang dikandung oleh terminologi yang dipilih. Hal ini berlaku untuk seluruh proses komunikasi  ilmiah.
                Selain itu, informasi yang disampaikan harus pula ditunjang oleh pemakaian kalimat yang efektif. Sebuah kalimaat yang tidak bisa diidentifikasikan  mana subjek dan mana yang predikat, serta bagaimana kaitan subjek dan predikat, kemungkinan besar informasi yang disampaikana tidak jelas. Tata bahasa memang merupakan ekspresi logika berpikir. Pemakaian tata bahasa yang kurang cermat,  jelas dapat mencerminkan logika berpikir yang kurang cermat pula. Oleh karena itu, seorang pembicara harus pula menggunakan tata bahasa secara baik, sehingga pesanpun dapat diterima secara tepat pula oleh pendengar. 
                Sebagaimana uraian di atas, bahwa tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, maka seyogyanyalah sang pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan; dia harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap (para) pendengarnya dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan.
                Apakah sebagai alat  sosial (social tool) ataupun sebagai alat perusahaan maupun professional (business or professional tool), maka pada dasarnya berbicara mempunyai tiga maksud umum, yaitu:
a.       memberitahukan, melaporkan, (to inform)
b.       menjamu, meghibur (to entertain)
c.        membujuk, mengajak, mendesak, meyakinkan (to persuade)
gabungan atau campuran dari maksud-maksud itupun mungkin saja terjadi. Suatu pembicaraan misalnya mungkin saja merupakan gabungan dari melaporkan dan menjamu begitu pula mungkin sekaligus menghibur dan meyakinkan. (Ochs and Winker, 1979: 9).
Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pembicaraan secara efektif, sebaiknya pembicara betul-betul memahami isi pembicaraannya. Seorang pembicara berbicara karena ingin pikirannya dimiliki oleh orang lain. Tentu saja mendengar bukanlah mendengar. Dalam mendengarkan kita juga berpikir agar mendapat manfaat yang sebesar-besarnya.
Keefektifan berbicara juga ditunjang oleh sikap pendengar. Sering kegiatan berbicara itu tidak bermanfaat hanya karena sikap yang kurang baik dari pendengar. Sering terjadi pendengar lupa apa yang didengarnya, terkesan atas pembicaraan yang menarik, tetapi tidak ingat akan isi pembicaraan, atau kurang memperhatikan isi pembicaraan, yang disampaikan karena wajah pembicara yang kurang menarik misalnya. Dalam mendengarkan kadang-kadang faktor pengganggu, misalnya sikap, gaya pembicara, ciri-ciri jasmani yang kurang menarik, gerakan-gerakan yang mengganggu, dan sebagainya. Namun, untuk keefektifan berbicara sikap positif dalam mendengarkan hendaknya juga dipupuk dan berusaha mengabaikan gangguan-gangguan tersebut.
Selain itu, sikap terbuka terutama sikap menerima dengan senang gagasan atau penalaran yang lebih baik dari pembicara sehingga memungkinkan pendengar memperbaiki, mempersegar, atau mengganti gagasannya, perlu pula dipupuk. Sikap positif ini juga dapat dikembangkan melalui kesediaan untuk bergantian menjadi pendengar, memperhatikan pembicaraan dari awal dengan penuh perhatian, walaupun ada gangguan.
Di samping  tujuan sebagaimana tersebut di atas, berbicara juga bertujuan sebagai berikut ini. 

1.  Berbicara untuk melaporkan, untuk memberikan informasi
Berbicara untuk melaporkan, untuk memberikan informasi, dilaksanakan kalau seseorang berkeinginan untuk:
a.     menanamkan pengetahuan
b.     menetapkan hubungan-hubungan antara benda-benda
c.     menerangkan sesuatu proses
d.     menginterpretasikan sesuatu persetujuan
Semua hal tersebut merupakan situasi informatif karena masing-masing ingin membuat pengertian-pengertian atau makna-makna menjadi jelas. Contoh, menanamkan pengetahuan merupakan fungsi utama segala kuliah di perguruan tinggi. Apa yang dimiliki, yang dipahami oleh sang dosen dikomunikasikan kepada mahasiswa. Namun, suatu pernyataan sederhana terhadap fakta-fakta baru jelaslah tidak memadai. Segala perlengkapan yang dapat meyakinkan haruslah dipergunakan untuk membuat para mahasiswa menyadari sifat atau hakekat yang dikemukakan.
Pembicaraan-pembicaraan yang bersifat informatif menyandarkan diri pada lima sumber utama, yaitu:
a.       pengalaman-pengalaman yang harus dihubung-hubungkan seperti perjalanan, petualangan, cerita dan lain-lain.
b.       proses-proses yang harus dijelaskan, seperti pembuatan sebuah buku, mencampur zat-zat pewarna untuk membuat warna-warna, merekam serta memotret bayi.
c.        Tulisan-tulisan yang harus dipahami seperti artikel
d.       Ide-ide atau gagasan yang harus disingkapkan seperti makna estetika
e.        Instruksi-instruksi yang harus digambarkan dan dirancang seperti bagaimana bermain catur, bagaimana cara membuat kapal.
Perlu disadari bahwa tuntutan serta pertimbangan dalam situasi informatif lebih bersifat intelektual dari pada emosional. Kita harus berusaha menempatkan segala sesuatu dalam posisi dan urutan yang mudah dilihat. Untuk dapat melakukan hal ini maka kita perlu mempergunakan komparasi, kontras, jenis, spesis, dan definisi. Demikianlah, masalah mengenai apakah “ sesuatu itu dapat dijawab karena jalan menempatkannya dalam hubungan dengan hal-hal yang telah diartikelkan.

2. Berbicara untuk meyakinkan
Aristoteles pernah mengatakan bahwa persuasi, peyakinan adalah inti pe-nanaman alasan-alasan atau motif-motif yang dituntun ke arah tindakan  bebas konsekuen. Persuasi adalah tujuan kalau kita menginginkan tindakan atau aksi. Pembicaraan yang bersifat persuasif disampaikan kepada pendengar bila kita menginginkan penampilan atau tindakan atau pengajaran suatu bagian tertentu dari suatu tindakan. Cara berikut ini untuk memperoleh aksi melalui daya penarik-daya penarik dasar, yakni:
1.             ajukanlah suatu penawaran
2.             batasi waktu
3.             persediaan terbatas
4.             jaminan atau garansi
5.             harga mangikat terus

3. Berbicara untuk merundingkan
Berbicara untuk merundingkan pada dasarnya bertujuan untuk membuat sejumlah keputusan dan rencana. Keputusan-keputusan itu dapat menyangkut sifat hakikat tindakan-tindakan masa lalu dan hakikat mendatang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PAIYA LO HUNGO LO POLI

Kepercayaan (Mitos) Di Provinsi Gorontalo

Pantun Gorontalo